Sejarah Perbedaan 4 Madzab


Pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, yang dituliskan hanyalah Al-Quran. Hadits tidak dituliskan sama sekali karena takut akan campur aduk dengan Quran. Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina Utsman brn Affan Rda. (23 -35 H) ayat Quran yang dirulis cerai berai itu dikumpulkan menjadi satu mashaf yang sekarang di¬namakan Mashaf Utsman bin Affan ra. Inilah Al-Quran yang 30 juz sebagai yang kita lihat banyak tersebar di Indonesia dalam berbagai-bagai bentuk cetakan. Semuanya ini adalah “Mashaf Utsman bin Affan Rda.”

Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. yaitu ucapan-ucapan beliau, perbuatan beliau, yang dinamakan Sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para sahabat, yang boleh dinamakan Pemangku Hadits. Para sahabat Nabi, pemangku hadits ini; baik sebelum Nabi Muhammad Saw wafat maupun sesudahnya telah mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah Islam. Ada di antara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang pindah ke Mesir, iraq, Yaman, Persia, Hadhara Maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan khabarnya ada yang sampai ke Timur jauh, ke Tiongkok dan lain-sebagainya.

Nasib Hadits agak malang ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati sahabat-sahabat Nabi yang telah rnengembara ke sana-sini.

Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 – 70 H (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hukum-hukum dalam pengadilan dipegang oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab suci Al-Quran, dan pula banyak di antara mereka yang hafal Sunnah Rasul.

Sesuatu soal yang datang/timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Quran dan sesuai pula dengan hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak menghafal hadits, maka ditanyakan kepada sesame sahabat, kiranya diantara moreka ada yang menghafal hadits yang baru timbul yang dapat dipakai dalam menghadapi persoalan. Kalau umpamanya tidak mendapat hadits yang dibutuhkan, lalu menggunakan ra’yi (pendapatnya masing-masing) dengan mengingat ayat-ayat Suci dan Hadits-hadits Nabi yang ada.

Berfatwa dengan dasar “ra’yi” (pendapat) dibolebkan oleh Nabi Muhammad Saw kalau tidak diketemukan dasar Quran atau Hadits, (tersebut dalam Hadits Mu’az yang masyhur)
Tetapi dalam praktek, para sahabat tidak banyak mengalami kesulitan karena isi Al-Quran ada dan Hadits pun banyak pula di dadanya. Sedang masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi seakan-akansudah menjadi dua golongan:

a. Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak. Inilah Pemangku hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya, tanpa komentar tentang isinya. Golongan ini dinamakan “Ahli riwayah”, yakni golongan yang menyampaikan/ merawikan hadits-hadits.

b. Golongan kedua yang jumlahnya sedikit, selain pemangku Hadits, juga berfatwa dan menghadapi hukum,hokum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan golongan “Mufti”, golongan fuqaha, atau golongan pemberi fatwa. Tidak banyak sahabat yang masuk golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.

Kemudian tibalah masa Tabi’in, yaitu masa orang-orang yang berjumpa/ berguru kepada sahabat-sahabat Nabi saw. Orang-orang ini tidak berjumpa dengan Nabi. Para Tabi’in aktif sekali, selain mempelajari bermacam-macam ilmu juga menerima hadits-hadits Nabi dari sahabat-sahabat.

Para Tabi’in ini sudah lebih besar jumlahnya dari jumlah sahabat karena setiap sahabat mengajar 10 sampai 30 Tabi’in.

Dengan bertambah luasnya daerah Islam, para sahabat banyak yang bertambah jauh pengembaraannya. Tabi’in bertambah luas lagi perkembangannya ke daerah-daerah. Ke barat sudah sampai di Mesir, Libia, Tunisia, Al Jazair, Marokko, bahkan sampai ke Spanyol. Ke Timur sampai Iraq, Persia, Indla, Sentral Asia, Indonesia, Kamboia, bahkan sampai ke Tiongkok.

Para Tabi’in itu setelah belajar dari sahabat, lantas bertebaran ke seluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam pelbagai pengadilan.

MasaTabi’in ini dapat kita katakana dari tahun 70H. s/d 130H. (yaitu kira-kira 60 tahun).

Para Tabi’in ini sama juga dengan para sababat, terbagi pada dua golongan tadi, yaitu:

  • Golongan pertama, yaitu menjadi pemangku Hadits saja. (si Rawi)
  • Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa, menjadi qadli, menjadi Mufti, menjadi,Muballigh.

Di antara para Tabi’in terdapat seorang ulama Besar di Kufah (Iraq), namanya Nu’man bin Tsabit. Inilah Imam Abu Hanifah. Asalnya dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad. (lahir 80 H, wafat 150H.).

Beliau ini Ulama besar sehingga sampai derajat ilmunya kepada bisa menjabat Imam Mujtahid.

Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Quran dan hadits) dan beliau menjadi imam Mujtahid dalam ilmu Fiqih yang kemudian dinamakan dengan Madzhab Abu Hanifah. Nu’man bin Tsabit atau madzab Hanafi. Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu: Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bin Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, dan Abu TMait.

Guru-gurunya yang lain hanya para Tabi’in. Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit menggali hukum dari al Quran dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.

.

Pada waktu yang hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang ulama besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pengazas madzab Maliki. (Beliau lahir tahun 93 H dan wafat 179 H.)

Beliau hidup pada masa Tabfin dan Tabi’ Tabi’in (Tabi’in = orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi, Tabi’ Tabi’in = orang yang berjumpa dengan Tabi’in).

Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93 H, sedangkan Imam Abu Hanifah lahir tahun 80 H.

Selisih tahun wafat agak banyak. Imam Hanafi wafat tahun 150H, sedangkan Imam Malik wafat 179H. (beda 29 tahun). Walaupun hidup pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda.

Imam Hanafi berada di Kuffah (ibukota Negara), sedangkan Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang ketika itu boleh dikata tidak begitu ramai, namun banyak tinggal para pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir. Sedangkan kota kufah yang banyak adalah ahli-ahli politik yang mereka adalah ulama-ulama juga.

Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in banyak tinggal di Madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki sehingga sangat mudah mengumpulkan hadits-hadits Nabi saw dan sunnah Rasul saw.

Imam Maliki sebelum enjadi Imam Mujahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya. Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokkan isinya dengan Quran dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak dipakai untuk dasar hukum.

Hal ini dilakukannya karrena takut kemasukan hadits-hadits yang pada hakikatnya bukan dari Nabi tetapi dimasukkan oleh orang lain.

Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah pada waktu itu boleh dikatakan hanya didiami semula oleh Nabi dan Sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh Tabi’in dan sesudah itu oleh Tabi’ Tabi’in. Orang yang tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dari luar daerah tetapi bukan sahabat dan.tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi tidak beriman dengan Nabi dan orang yang bukan pula Tabi’in, karena tinggal di pinggir kota sehingga tidak berjumpa dengan sahabat Nabi tidak ada di Madinah pada zaman Imam Maliki.
Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Malik memakai dasar “amalan orang-orang Madinah” sebagai dasar hokum fiqihnya.

.

Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi’ Tabi’in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian membangun madzab yaitu madzab Syafi’i.

Imam Syafi’i adalah seorang yang sering pindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in. Pindah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruhTabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.

Pindah-pindahnya beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i rhm lebih banyak mendapat hadits daripada Tabi’in yang lain, melebihi dari yang didapat oleh lmam Hanati dan Maliki.

Ilmu beliau pun lebih lengkap dari kedua Imam itu karena beliau lebih banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).

Hadits-hadits dicari beliau ke mana-mana. Para tabi’in yang telah bercerai-berai dan berjauhan tempat tinggalnya ditemui oleh beliau. Oleh karena itu, beliau banyak sekali mendapat hadits.

.

Pada tahun 164 H lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’i 14 ahun. Boliau wafat tahun 241 H, 37 tahun setelah Imam Syafi’i rhm wafat.

Barang siapa mempelajari riwayat Imam Hanbali ini, ia akan kagum dengan kealiman, ketakwaan, ketabahannya dalam menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia, dan kepintarannya yang luar biasa.

Beliau Imam Ahmad bin Hanbal belajar agama di Baghdad dengan ulama-ulama Tabi’ Tabi’in. Imam Hanbali belajar tafsir, hadits, tasawuf, dan lain-lain kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’i sewaktu beliau berada di Baghdad.

Imam Hanbali kemudiansampai kepada derajat Mujtahid yang mampu berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas kealiman beliau, diceritakan oleh putra beliau Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa, “ayahku telah menghapal di luar kepala 10.000.000 hadits.” (Referensi lain menyebut 1 juta hadits)

Di dalam kitab al Masnad karanganluranr Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya 40 ribu hadits, yang disaringnya dari yang 10 juta itu.

.

Perbedaan Di antara 4 Madzab

Di antara Ima’mMujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara menggali hukum (istinbath) dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum yang terjadi.

Persamaannya adalah dalam menggunakan Al Quran sebagai dasar hukum. Mereka berempat sama-sama mencari dalil dari Al Quran terlebih dahulu. Kalau tidak ada maka beliau-beliau baru pindah ke sandaran hadits atau sunnah Rasul saw.

Hanya karena situasi Hadits berbeda dengan situasi Quran, yakni Quran sudah termak’tub sedang Hadits belum termaktub, melainkan berada di dada para ulama dan tertransfer dari satu kepada yang lain, maka dalam memakai hadits terdapat perbedaan pendapat di antara Imam yang 4 itu, yaitu:

.

Imam Hanafi berpendapat bahwa hadits yang dipakai menjadi dasar hukum haruslah hadits yang kuat saja, yang tinggi syarat sahihnya bahkan yang lebih baik yang mutawatir (banyak perawinya).

Kalau tidak terdapat hadits yang demikian, maka lebih baik pindah saja ke “”ra’yi”, kepada qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan pendapat (qiyas) lebih terjamin kebenarannya dari pada mengambil dari hadits-hadits yang diragukan, hadits-hadits yang kurang kuat, apalagi hadits yang dloif.

Menurut Imam Hanafi, pendapat didahulukan dari pada hadits dloif (hadits yang kurang kuat), karena menggunaka pendapat telah diberi izin oleh Nabiyullah saw sendiri dalam hadits Muadz ang masyhur.

Karena itu Madzhab Hanafi digelari dengan Madzhab Ahli Ra’yi, Madzhab Ahli pendapat, Ahli qiyas. Alasan Imam Hanafi ini dapat dimengerti karena di Kufah ketika itu tidak begitu banyak pemangku hadits-hadits, sebagaimana di Madinah atau Makkah. Imam Hanafi mendapat hadits lebih sedikit, dan itupun ada yang diragukan pula kesahihannya.

Imam Hanafi memakai pula suatu jalan (dalil) yang bernama Istihsan, yaitu kebaikan umum atau yang lebih baik. Sebagai contoh, Imam Hanafi melarang wanita junub habis bersetubuh dengan suaminya untuk membaca Al Quran.

Dalam soal ini timbul masalah. Bagaimana dengan wanita yang berhaidh, bolehkah ia membaca Quran. Ada orang memfatwakan tidak boleh karena diqiyaskan kepada wanita junub tadi. Tetapi Imam Hanafi mengatakan boleh, karena yang lebih baik baginya dibolehkan, karena masa haidh itu lama. Kalau dilarang, maka akan terlalu lama ia tidak membaca Quran. Sedang wanita
junub bisa langsung mandi sehingga ia dapat segera membaca Al Quran.

Jadi dalam qiyas menurut Imam Hanafi juga harus dipertimbangkan mana yang lebih baik. Itulah yang dinamakan Istihsan.

Ima’m Syafi’i tidak memakai jalan ini sama sekali karena pertimbangan-pertimbangan demikian tidak dapat sebagai dalil syari’at, kata beliau.

.

Imam Maliki berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadits Rasulullah saw, sesuai dengan pendapat Imam Hanafi.

Tetapi apabila sebuah hadits berlawanan dengan “amalan orang Madinah”, maka yang didahulukan adalah “amalan orang Madinah”. Jadi dasar Madzhab beliau diantaranya adalah Amalan orang Madinah, bahkan dasar ini didahulukan dari hadits. Jangan terkejut. Imam Malik berpendapat bahwa amalan Madinah setara dengan hadits, bahkan lebih tinggi derajatnya. Hadits-hadits diriwayatkan melalui perkataan dari orang ke orang, yaitu dari Rasulullah saw ke sahabat, kemudian ke tabi’in, kemudian ke muridnya, dst. Semuanya adalah perkataan.

Amalan orang Madinah, di lain pihak, diriwayatkan dengan perbuatan. Ini adalah contoh nyata Nabi yang dilihat oleh sahabat, lantas diikuti dan dikerjakan, diturunkan lagi oleh sahabat ke murid-muridnya. Demikian seterusnya, sehingga menjadi tradisi Madinah.

Mana yang lebih kuat petkataan dibanding perbuatan. Tentu saja perbuatan lebih kuat, demikian pendapat Imam Maliki.

Sebagai contoh, dalam hal meletakkan tangan di dada pada saat berdiri sembahyang. Ada haidts Ahad (hadits dengan satu silsilah) bahwa tangan kanan di atas tangan kiri beliau saw di dada dalam berdiri sembahyang. Tetapi Imam Maliki melihat para tabi’in di Madinah semuanya melepas tangan ke bawah. Ibadat semacam ini diambil dari sahabat-sahabat dari ibadat (perbuatan) Nabi ketika mengerjakan sembahyang. Maka Imam Maliki berpendapat bahwa riwayat dengan perbuatan lebih kuat dari riwayat dengan perkataan.

Imam Maliki memakai suatu jalan yang diberi nama Marsalih-Mursalah, yaitu “kemuslihatan mutlak”. Sebagaicontoh dikemukakan bahwa andaikata orang kafir yang sedang berperang dengan orang Islam menggunakan orang Islam di mukanya sebagai tameng hidup. Kalau ditembak, maka orang islam itu pulalah yang pertama tertembak.

Imam Maliki memfatwakan, bahwa dalam keadaan yang seperti ini harus diperhatikan kemuslihatan-mutlak. Yang muslihat adalah tetap menembak, walaupun tamengnya orang muslim. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah bahwa perang melawan musuh adalah untuk mengalahkan mereka. Kalau tamengnya tidak ditembak, maka orang kafir akan menang, dan celakalah seluruh orang islam. Lebih baik seorang saja yang mati, daripada seluruh kaum muslimin mendapat celaka. Demikian pendapat Imam Malik. Imam Syafi’i tidak memakai dalil ini.

.

Imam Syafi’i rhm berpendapat bahwa pengambilan hadits-hadits diutamakan dibanding memakai dalil “ra’yi” maupun dalil “amal perbuatan orang Madinah”. Beliau hanya menggunakan dalil hadits. Ra’yi (pendapat akal), dan amal ahli Madinah tidak laku kalau bertentangan dengan Hadits.

Bagi beliau AlQuran dan Hadits adalah yang utama dan pertama, di mana kalau tidak ada dalam Al-Quran dan Hadits, barulah pindah kepada Qiyas dan Ijma, yang harus bersandar juga kepada Al-Quran dan hadits.

Qiyas dan Ijma’ yang tidak bersandar kepada Al Quran dan hadits tidak dipakai oleh Imam Syafi’i. Oleh karena itu beliau diberi gelar “Ahlul Hadits”, atau “Nashirul Hadits” atau penolong hadits.

Hadits yang dipakai menjadi dasar hukum menurut Madzhab Imam Syafi’I adalah hadits yang sahih-sahih saja, bukan yang dloif.

Hadits yang dloif dipakai untuk “fadhailul amal”, untuk dasar dalil amalan-amalan sunnat. Seperti untuk menetapkan dzikir, banyak dzikir, sedekah, banyak sedekah, dan lain-lain.

Adapun amal sahabat Nabi yang utama, diterima sebagai dasar hukum, karena Nabi saw sendiri menyuruh umat untuk mengikuti mereka. Sehingga mengikut amal sahabat Nabi yang utama pada hakekatnya adalah mengikuti sunnah Rasul juga. Demikian Imam Syafi’i.

Karena itu dalam Madzhab Syafi’i rhm adalah sunnat hukumnya sembahyang tarawih 20 raka’at tiap-tiap malam bulan Ramadhan dengan berjama’ah, karena hal ini diperintahkan oleh Saidina Umar ra Khalifah Nabi yang kedua dan Sahabat Nabi yang utama. Dan karena itu pula, sunnat hukumnya azan yang pertama pada sembahyang Jum’at, karena hal itu diperintahkan oleh Saidina Utsman bin Affan, Sahabat Nabi yang utama dan Khalilah Ar Raryidin.

Barangsiapa yang tidak mau menerima hukum Saidina Umar dan Saidina Utsman, orang itu telah menentang Nabi Muhammad saw, karena Nabi saw telah menyuruh umatnya untuk mengikut Saidina Umar dan Khalifah Rasyidin, sebagai yang tersebut dalam salah satu Hadits.

.

Imam Hanbali berpendapat, bahwa kalau tidak terdapat hukum sesuatu dalam Al Quran, maka carilah di dalam hadits Nabi, dan sekali lagi hadits Nabi.

Andaikata ada pendapat atau perbuatan dari Sahabat Nabi, dari Tabi’in atau dari siapapun yang menentang hadits, maka pendapat atau amal orang itu tidak dihiraukan. Yang dipegang ialah Hadits. Demikian Imam Hanbali.

Imam Hanbali tidak setuju pendapat Imam Hanafi yang banyak menggunakan “pendapat”, juga tidak setuju pendapat Imam Maliki yang memakai dalil amalan orang Madinah untuk dasar hukum.

Tetapi Imam Hanbali tidak menentang Ijtihad Imam Syafi’i rhm. Hanya Imam Hanbali lebih ekstrim. Beliau berpendapat, lebih baik memakai hadits yang dha’if (yang lemah) dari pada memakai “ra’yi” dalam menetapkan hukum. Asal tidak memakai hadits maudhu’ (hadits yang dibuat-buat).

Karena hadits itu adalah tetap hadits juga, sekalipun dha’if. Hanya pemangkunya yang diragukan. Demikian Imam Hanbali.

Beliau tidak sependapat dengan Imam Syafi’i yang tidak memakai hadits dha’if sebagai dasar hukum dan hanya memakainya dalam “Fadhailul a’mal”.

Prinsip Perbedaan Pengambilan Hukum

Dalam mengambil hukum, masing-masing madzab terdapat perbedaan-perbedaan seperti terlihat sebagai daftar di bawah, yaitu,

A. Sumber Madzab Hanafi

  1. Al Quran al Karim
  2. Sunnah Rasul yang sahih-sahih dan masyhur
  3. Ijma’ sahabatNabi.
  4. Qiyas (pendapat).
  5. Istihsan (pendapat).

B. Sumber Madzab Maliki:

  1. 1. Al-Quran al Karim.
  2. SunnahRasul yang sahih menur’ut pandangan beliau.
  3. Amalan para Ulama ahli Madinah ketika itu.
  4. Qiyas (pendapat).
  5. Masalihul-mursalah (kepentingan umum)

C. Sumber Madzab Syafi’i:

  1. Al-Quran al Karim.
  2. Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (Hadits shahih mutawatir, hadits sahih-ahad,hadits shahih masyhur).
  3. Ijma’ para Mujtahid.
  4. Qiyas.

D. Sumber Madzab Hanbali:

  1. Al-Quran al Karim.
  2. Ijma’ sahabatNabi.
  3. Hadits termasukHadits Mursal dan Hadits Dhaif.
  4. Qiyas (pendapat).

Tampak bahwa ke-empat Madzab itu memegang Al-Quran dan hadits sebagai sumber pertama, namun dalam menjalankan ijtihad untuk mengambil hukum terhadap suatu masalah, mereka ada perbedaan.

Dengan pendapat yang berbeda-beda ini dapatlah kita ketahui bahwa dari 4 madzab itu muncul hasil fiqih yang berbeda, karena memang metode pengambilan hukumnya juga berbeda.

  • Trackback are closed
  • Komentar (0)
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.